JAKARTA — Program Bulan Dana PMI DKI Jakarta sejatinya bertujuan mulia untuk mendukung kegiatan kemanusiaan. Namun, di lapangan praktiknya sering menimbulkan beban ganda bagi warga, khususnya kelompok kurang mampu.
Alih-alih sukarela, pengumpulan dana kerap dilakukan dengan menentukan besaran nominal serta batas waktu setor. Ironisnya, warga miskin justru bisa kena pungut 3 sampai 4 kali, mulai dari lingkungan RT/RW, di fasilitas layanan publik seperti kelurahan dan puskesmas, hingga di sekolah tempat anak-anak mereka belajar.
Di tengah kondisi hidup yang kian berat, dengan harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, biaya transportasi yang makin mahal, hingga tagihan listrik dan air yang tak bisa ditunda, pungutan berlapis ini menambah tekanan ekonomi bagi keluarga miskin di Jakarta.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal, dasar hukum pengumpulan Bulan Dana PMI, yakni Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pengesahan Anggaran Dasar Palang Merah Indonesia, serta peraturan pelaksanaannya di tingkat daerah, menegaskan bahwa pengumpulan sumbangan dilakukan secara sukarela, bukan dengan penentuan besaran dan kewajiban setoran.
“Kalau dihitung-hitung, warga miskin bisa diminta sumbangan sampai empat kali. Nominalnya memang kecil, tapi buat mereka yang serba pas-pasan, tetap saja terasa berat. Apalagi dilakukan di sekolah dan fasilitas publik yang mestinya melindungi warga, bukan menekan,” ujar Marlo Sitompul, S.H., aktivis pendamping rakyat miskin kota, di Jakarta, Sabtu (13/9).
Marlo menegaskan bahwa praktik ini bukan saja menyalahi prinsip sukarela, tetapi juga menimbulkan stigma sosial. “Warga yang tidak mampu menyetor sering dianggap tidak peduli sosial. Ini berbahaya, karena menimbulkan tekanan psikologis, padahal masalahnya murni keterbatasan ekonomi,” tambahnya.
Usulan Solusi
Untuk mengembalikan Bulan Dana PMI sesuai semangat kemanusiaan, Marlo menyarankan:
- Mekanisme pembebasan bagi keluarga miskin agar tidak terkena pungutan berlapis.
- Transparansi target dan penggunaan dana, sehingga publik tahu aliran donasi secara jelas.
- Digitalisasi donasi lewat kanal resmi untuk memudahkan warga yang mampu, sekaligus mencegah pungutan liar.
- Sosialisasi luas bahwa sumbangan bersifat sukarela, bukan kewajiban.
- Pengawasan ketat pemerintah daerah, agar tidak ada lagi pungutan yang menekan warga miskin.
“PMI harus kembali ke khitahnya: menggerakkan solidaritas warga secara sukarela. Jangan sampai lembaga kemanusiaan justru membebani mereka yang paling tidak mampu,” tutup Marlo.
Penulis : Didi
Editor : Hery Lubis