MEDAN, SUMUT — Aksi masyarakat yang menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL) di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara, Senin (10/11/2025), bukan untuk memaksa Gubernur Sumut menyatakan sikap menutup perusahaan tersebut. Mereka sadar, kewenangan menutup TPL ada di tangan pemerintah pusat.
Direktur Eksekutif Indonesia Government Watch (IGoWa), Sutrisno Pangaribuan, mengatakan masyarakat di kawasan Danau Toba hanya ingin didengar dan diberi empati oleh Gubernur Sumut.
“Mereka ingin pemimpinnya hadir dan peduli atas penderitaan yang mereka alami sejak PT IIU atau TPL berdiri dan beroperasi di tanah Batak. Jadi, masyarakat tak butuh penjelasan Gubsu soal tiga opsi rekomendasi Pemprov Sumut kepada pemerintah pusat, apalagi kunjungan seremonial ke Sihaporas,” tegas Sutrisno dalam keterangan persnya, Kamis (13/11).
Sutrisno yang juga Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) menilai, sikap Gubsu yang justru ke Jakarta saat aksi berlangsung membuat masyarakat kecewa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Harapan warga korban TPL untuk didengar justru antiklimaks. Gubsu memilih pergi ke Istana Negara dengan alasan undangan, seolah cinta masyarakat di Danau Toba bertepuk sebelah tangan. Padahal, kawasan ini memberi kemenangan mutlak bagi menantu Presiden Jokowi pada Pilgub 2024,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat kini mulai sadar bahwa dukungan politik berlebihan tak perlu diberikan kepada pemimpin yang tak peduli.
“Ternyata rakyat hanya dianggap angka yang dibutuhkan saat Pilkada. Gubsu lebih menjaga perasaan TPL dan 11 ribu karyawannya ketimbang memikirkan kerusakan lingkungan serta penderitaan warga di Danau Toba,” tambah Sutrisno yang juga Presidium Perkumpulan Semangat Rakyat Anti Korupsi (Semarak).
Menurutnya, perjuangan menutup TPL tak perlu lagi mengandalkan Gubsu.
“Sikap Gubsu jelas lebih berpihak pada perusahaan. Karena itu, perjuangan harus digeser ke Istana Negara — tempat Gubsu justru pergi saat aksi digelar di kantornya,” ujarnya lagi.
Sutrisno juga menjelaskan, izin pendirian PT TPL (dulunya PT Inti Indorayon Utama) dikeluarkan di masa Orde Baru, berdasarkan akta pendirian No. 329 tanggal 26 April 1983 oleh Notaris Misahardi Wilamarta dan disahkan Menteri Kehakiman RI melalui SK No. C2-5130.HT01-01.TH.83 tanggal 26 Juli 1983.
“Karena izin keluarnya dari pusat, maka perjuangan juga harus ke pusat. Gubsu tak perlu dilibatkan karena justru bisa menghambat proses penutupan TPL,” jelasnya.
Sutrisno menegaskan, perjuangan kini harus diarahkan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Jika Presiden Prabowo mau mendengar para rohaniawan lintas agama dan masyarakat Danau Toba, kami yakin TPL bisa ditutup tahun 2025 ini,” pungkasnya.
Penulis : Mansyur Lubis
Editor : Hery Lubis






























