MEDAN — Gelombang desakan agar pemerintah menutup operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus bergulir. Masyarakat di Kawasan Danau Toba yang tergabung dalam gerakan Pro Tutup TPL menilai langkah Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) sudah tidak relevan dan tidak berpihak kepada penderitaan rakyat.
Direktur Eksekutif Indonesia Government Watch (IGoWa), Sutrisno Pangaribuan, dalam siaran pers yang diterima Kamis (13/11/2025), menegaskan bahwa massa aksi memahami kewenangan menutup TPL berada di tangan pemerintah pusat. Karena itu, aksi yang digelar di depan Kantor Gubernur Sumut pada Senin (10/11/2025) bukan untuk memaksa Gubsu menyatakan sikap tutup TPL.
“Masyarakat Kawasan Danau Toba, yang terdiri dari rohaniawan lintas agama, masyarakat adat, dan mahasiswa, hanya ingin didengar serta diberi empati oleh Gubernur. Mereka ingin dipeluk oleh pemimpinnya atas derita yang dialami sejak PT IIU atau PT TPL berdiri dan beroperasi di tanah Batak,” ujar Sutrisno.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menyayangkan sikap Gubsu yang dinilai menghindar dari massa aksi dengan alasan menghadiri undangan ke Istana Negara. Menurutnya, langkah tersebut menjadi antiklimaks bagi harapan masyarakat yang selama ini mendukung penuh pemerintah.
“Ternyata cinta masyarakat korban TPL bertepuk sebelah tangan. Ribuan warga di Kawasan Danau Toba yang pernah memberikan dukungan politik justru tidak dianggap penting dibanding sorotan kamera di Istana Negara,” lanjut Sutrisno yang juga menjabat Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas).
Menurutnya, sikap Gubsu yang lebih memihak kepentingan korporasi dan tenaga kerja TPL dibandingkan kerusakan ekologis di Danau Toba menunjukkan bahwa perjuangan menutup TPL tidak bisa lagi berharap pada pemerintah daerah.
“Gubsu bukan rekan juang bagi perjuangan tutup TPL. Realitas ini membuktikan bahwa Pilkada tidak menghasilkan pemimpin yang memberi harapan, melainkan hanya administrator pemerintahan yang bekerja mekanistik,” tegasnya.
Sutrisno yang juga Presidium Pergerakan Rakyat Indonesia Makmur Adil (Prima) menilai, perjuangan untuk menutup TPL harus digeser ke pemerintah pusat. Ia menyebut bahwa izin pendirian TPL yang dahulu bernama PT Inti Indorayon Utama dikeluarkan pada masa Orde Baru dan disahkan oleh Menteri Kehakiman pada tahun 1983.
“Aksi massa tidak perlu lagi digelar di kantor Gubsu. Sikap dan tindakan Gubsu justru kontraproduktif terhadap perjuangan menutup TPL. Kini fokus harus diarahkan ke Istana Negara,” tegasnya.
Sutrisno menambahkan, para rohaniawan lintas agama di Sumut dan nasional berencana meminta langsung kepada Presiden Prabowo Subianto agar menutup TPL.
“Jika Presiden Prabowo bersedia mendengar aspirasi masyarakat dan rohaniawan, maka TPL bisa ditutup tahun 2025 ini,” pungkasnya.
Penulis : mansur lubis
Editor : pjm
Sumber Berita : duadimensi.com































