TARAKAN – Kasus dugaan kredit fiktif senilai Rp275,2 miliar di Bank Kaltimtara kembali menyoroti lemahnya pengendalian internal dan tata kelola risiko di sektor perbankan daerah. Skandal yang melibatkan penggunaan Surat Perintah Kerja (SPK) sebagai agunan kredit ini dinilai bukan hanya mencerminkan kelalaian teknis, melainkan juga mengindikasikan adanya persoalan sistemik dalam proses verifikasi dan pengawasan operasional.
Akademisi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, Dr. Mappa Panglima Banding, S.E., M.M.S.I., menilai kasus ini menjadi alarm bagi dunia perbankan. Menurutnya, penyaluran kredit dengan agunan SPK seharusnya melalui verifikasi ketat atas dokumen dan kelayakan proyek, namun temuan SPK tidak sesuai transaksi riil memperlihatkan adanya celah besar.
“Temuan awal kasus ini menunjukkan kegagalan sistemik yang menggarisbawahi pentingnya penguatan tata kelola adaptif terhadap risiko operasional,” jelasnya, Rabu (20/8/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menjelaskan, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2023 mencatat 45 persen kasus kredit bermasalah di bank daerah berkaitan dengan lemahnya integrasi sistem verifikasi dengan database pemerintah seperti LPSE. Kondisi ini memperlihatkan persoalan struktural, bukan semata kesengajaan. “Lemahnya integrasi real-time validation bukan hanya masalah teknis, tapi juga tantangan besar bagi bank daerah,” lanjutnya.
Dari aspek regulasi, ia menekankan bahwa bank daerah berada di bawah pengawasan OJK dan pemerintah daerah, sehingga wajib menjalankan prinsip kehati-hatian. Menurutnya, kasus kredit fiktif ini bisa dijadikan momentum evaluasi mekanisme pengawasan. “Pemisahan tugas antar tim, serta penerapan early warning system untuk transaksi berisiko tinggi, perlu direview agar celah tidak terulang,” katanya.
Lebih lanjut, ia memaparkan mengapa modus SPK fiktif bisa lolos. Pertama, keterbatasan integrasi sistem yang membuat verifikasi manual bergantung pada koordinasi dengan instansi pemerintah. Kedua, kompleksitas format SPK yang sulit dikenali tanpa pelatihan khusus. Ketiga, lemahnya koordinasi lintas lembaga.
“Survei Asosiasi Bank Daerah 2024 menunjukkan hanya 35 persen bank daerah terhubung real-time dengan LPSE, sisanya masih konvensional dan rawan manipulasi,” ujarnya.
Menurutnya, kondisi tersebut diperburuk oleh kurangnya pelatihan SDM. Staf bank kesulitan membedakan SPK resmi dan palsu, apalagi jika ada tekanan penyaluran kredit. “Dalam banyak kasus, verifikasi SPK hanya dianggap formalitas tanpa pemeriksaan mendalam,” ungkapnya.
Terkait kerugian yang mencapai Rp275,2 miliar, Dr. Mappa menguraikan sejumlah faktor yang memengaruhi skalanya, seperti pola penyaluran kredit berulang dengan agunan serupa, lemahnya sistem pemantauan risiko karena belum memakai teknologi AI, serta praktik transaction splitting untuk menghindari red flag.
“Kerugian besar ini bisa jadi akumulasi dari celah teknis yang tidak termonitoring secara proaktif,” paparnya.
Ia juga menyinggung potensi adanya kolusi. Menurutnya, bukan tidak mungkin ada keterlibatan oknum internal bank dengan pihak eksternal. “Kolusi internal-eksternal bisa saja terjadi, namun itu tetap harus diuji lewat investigasi independen,” lanjutnya.
Lebih jauh, ia memaparkan peran berbagai pihak dalam proses kredit. Tim internal bank bertanggung jawab pada analisis kelayakan usaha dan verifikasi dokumen, sementara instansi pemerintah sebagai penerbit SPK memastikan keabsahan dokumen. Bahkan notaris atau konsultan eksternal kerap terlibat dalam penyusunan dokumen pendukung.
“Prinsip due diligence mengharuskan verifikasi dokumen menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya pihak bank,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti kondisi cabang bank di daerah terpencil seperti Nunukan yang memiliki tantangan pengawasan lebih besar. Minimnya infrastruktur teknologi, jarak dengan kantor pusat, dan jarangnya audit memperbesar risiko. “Kerentanan cabang terpencil bukan karena kelalaian, tapi tantangan struktural. Namun kondisi ini sering dijadikan ‘zona aman’ untuk manipulasi,” ujarnya.
Untuk memperbaiki tata kelola, Dr. Mappa mengajukan beberapa rekomendasi. Pertama, integrasi sistem verifikasi dengan database resmi seperti LPSE, SLIK, dan Sistem Perbendaharaan Negara. Kedua, pelatihan berkelanjutan bagi staf kredit. Ketiga, penerapan fraud detection berbasis AI. Keempat, memperkuat mekanisme whistleblowing.
“Praktik-praktik ini adalah best practices yang relevan untuk mencegah terulangnya kasus serupa,” imbuhnya.
Di akhir analisisnya, ia menekankan pentingnya menjadikan kasus kredit fiktif ini sebagai pelajaran. Bagi Dr. Mappa, memperbaiki sistem jauh lebih utama daripada mencari kambing hitam. “Setiap kasus kredit bermasalah adalah kesempatan untuk memperkuat sistem, bukan untuk selalu menyalahkan individu,” pungkasnya.
Penulis : Rls
Editor : Hery Lubis